Laman

Translate

[25 - 02 - 2018] Ini Jadi Penyebab Maraknya Kasus Menimpa TKI di Luar Negeri

Reporter : Yayu Agustini Rahayu
TKI. ©2013 Merdeka.com/Arie Basuki
Merdeka.com - Jaringan Buruh Migran (JBM) yang merupakan koalisi 27 organisasi, baik yang berada di dalam dan di luar negeri menilai kebijakan untuk perlindungan pekerja migran sejak tahun 2010 (UU PPMI) belum efektif mengatasi permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Mereka meminta agar pemerintah segera membuat aturan turunan dari UU PPMI. Meskipun UU PPMI telah disahkan, namun ini dinilai belum dapat terimplementasikan seluruhnya karena masih menggunakan peraturan turunan UU 39/2004 selama masa transisi pembuatan peraturan turunan UU PPMI selama 2 tahun.

SekNas JBM, Savitri Wisnuwardhani menekankan pentingnya penguatan kebijakan baik di tingkat nasional melalui pembuatan peraturan turunan UU PPMI dan kebijakan di tingkat regional ASEAN. Menurutnya, kelemahan dari UU PPMI terutama memposisikan pekerja migran bukan sebagai subjek tetapi sebagai objek. Hal ini terlihat dari pekerja migran dalam hal ini Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih diharuskan mendaftar bekerja ke luar negeri melalui perusahaan swasta atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI). Tak hanya itu, di dalam RUU masih minim ruang keterlibatan pekerja migran untuk dijamin.

"Kelemahan UU PPMI harus dapat diperbaiki dalam peraturan turunan. Salah satu peraturan turunannya membahas mengenai layanan migrasi yang harus dilakukan oleh pemerintah mulai dari desa, kabupaten, pusat hingga diluar negeri. Layanan ini harus terintegrasi, bebas pungli, menjamin adanya transparansi layanan dan memastikan terciptanya migrasi yang aman bagi pekerja migran sehingga pekerja migran tidak lagi berada dalam kondisi trafficking baik di Indonesia maupun di negara tujuan bekerja," kata Savitri dalam sebuah acara konprensi pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (25/2).

Selain itu, peraturan turunan harus memastikan terciptanya layanan perlindungan bagi pekerja migran.

Dalam kesempatan serupa, Solidaritas Perempuan, Risca Dwi menekankan pentingnya memastikan peraturan turunan UU PPMI. Pekerja migran harus mendapatkan situasi kerja yang layak seperti upah layak dan kondisi kerja yang layak.

"Selain itu pengawasan terhadap situasi kerja juga harus dilakukan terutama di luar negeri untuk memastikan pekerja migran berada dalam situasi kerja layak yang bebas diskriminasi," ujarnya.

Selain itu, aturan turunan juga harus mampu memastikan kasus kontraktual atau pelanggaran terhadap kontrak kerja tidak terjadi lagi. Perjanjian kerja harus terjadi antara dua negara.

Saat ini, katanya sering terjadi perjanjian kerja di negara asal tidak berlaku. Yang berlaku di negara tujuan yang lebih merugikan pekerja migran karena pekerja migran tidak memahami bahasanya. Selain itu perjanjian kontraktual harus dilakukan dengan dua bahasa dan penting disebutkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui MoU antar negara.

Salah satu komponen perlindungan yang harus diberikan negara adalah menjamin pekerja migran Indonesia untuk mendapatkan hak atas keadilan.

Salah satu pengacara umum LBH Jakarta, Oky Wiratama menilai bahwa hingga sekarang ini hak pekerja migran Indonesia atas keadilan masih sangat terbatas. Meskipun pemerintah telah membuat layanan pengaduan namun layanan ini masih sentralistik penanganannya.

"Misalnya di Jakarta atau di tingkat Provinsi. Selain itu antar instansi yang menyediakan layanan bantuan hukum tidak terintegrasi satu sama lain sehingga pekerja migran harus mendatangi masing-masing instansi pemerintah dan belum ada mekanisme perkembangan kasus secara online," ujarnya.

Oki berharap, dalam peraturan turunan, terdapat mekanisme bantuan hukum dan penyelesaian sengketa yang cepat dan berbiaya ringan bagi pekerja migran Indonesia.

"Menurut saya (aturan turunan) sangat penting karena peraturan turunan itu akan diatur mengenai lebih spesifik lagi mengenai misalnya bantuan hukum kalau di UU PPMI kan menjamin hak atas bantuan hukum tapi hak bantuan hukum seperti apa ?bagaimana dia mendapatkan akses bantuan hukum itu kan belum diatur secara rinci di UU PPMI. Oleh karenanya butuh aturan yang lebih teknis, spesifik bisa melalui permen (peraturan menteri) atau kepmen (keputusan menteri) itu mengenai bantuan hukum misalnya karena ini kan urgent juga menurut saya, jadi gak cukup hanya hal-hal bersifat umum."

Sebagai informasi, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan terjadi peningkatan kasus yang dialami pekerja migran di Malaysia bila dibandingkan antara tahun 2016 dengan 2017.

Data lainnya menunjukkan meskipun kasus pekerja migran mengalami penurunan dari 2016 ke 2017, namun jumlah kasus yang dialami pekerja migran tetap tinggi. Terlebih data BNP2TKI menunjukkan terjadi peningkatan kasus pekerja migran yang tidak berdokumen (254 orang), kasus over charging (33 orang) dan kasus overstay (33 orang). Sedangkan data kasus yang masuk ke SBMI menunjukkan sepanjang tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1501 kasus. Selain kasus kontraktual, tidak sedikit pekerja migran mengalami kasus penganiayaan, trafficking dan sakit. Selain data dari SBMI, data monitoring media yang dilakukan JBM juga menunjukkan selama tahun 2017 kasus terbanyak yang dialami pekerja migran adalah kasus pekerja migran tidak berdokumen (6.300 kasus), kasus perdagangan orang (1.083 orang) dan kasus pekerja migran yang meninggal dunia (217 orang). [idr]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan