Laman

Translate

[10 - 07 - 2017] 1,5 Juta Buruh Migran Indonesia Terancam Diusir Dari Malaysia

Pemerintah Diminta Cari Solusi

Foto/Net
RMOL. Jaringan Buruh Migran (JBM) menyebutkan, saat ini di Malaysia ada 1,5 juta orang pekerja Indonesia yang tidak berdokumen terancam terkena razia.

Ratusan di antara mereka sudah mulai ditangkap, sebagian bahkan lari ke hutan. Terbitnya aturan E-Kad di Malaysia menjadi penyebab utama. Sementara untuk mengurus dokumen resmi, buruh migran Indonesia harus menghadapi prosedur rumit hingga praktik percaloan. 

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (Seknas JBM) Savitri Wisnuwardhani mengatakan, pengusiran massal pekerja migran tidak berdokumen sebenarnya bukanlah cerita baru. "Pengusiran massal bahkan sudah dilakukan Malaysia sejak 15 tahun lalu. Pada tahun 2016 saja ter¬catat ada 17.921 WNI pekerja migran yang dideportasi dari Malaysia, jumlah ini meningkat 1,33 persendibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 17.682 orang," katanya dalam siaran persnya, kemarin.

Pihaknya melihat bahwa permasalahan deportasi ini adalah fenomena struktural yang menunjukkan adanya ketidakadilan global dan ketidakadilan sistem migrasi yang membuat para pekerja migran tidak memiliki pilihan untuk bermigrasi aman. 

Misalnya, jelas Savitri, dalam MoU masih dimungkinkan ma¬jikan menahan paspor pekerja migran, minim pengawasan pada tempat bekerja sehingga banyak pekerja migran yang bekerja dalam kondisi kerja buruk atau kerja mirip perbudakan.

"Pemerintah Indonesia harusnya mengirimkan nota keberatan kepada pemerintah Malaysia untuk meninjau ulang dan memperbaiki system untuk menyelesaikan masalah pekerja migran yang tidak berdokumen," sebutnya. 

Penyelesaian secara struktural ini harus melibatkan kedua neg¬ara melalui penyelesaian diplomatik, misalnya lewat perjanjian bilateral atau Memorandum of Understanding (MoU). 

Isi perjanjian bilateral/MoUjuga harus dapat mengikat komit¬men kedua negara dan adanya mekanisme pengawasan yang disepakati bersama, termasuk didalamnya adanya sanksi oleh pemerintah Malaysia kepada majikan dan agency di Malaysia yang melanggar MoU. 

"Di Indonesia harus ada perbaikan tata kelola migrasi mela¬lui revisi UU39/2004 dengan perspektif perlindungan dan hak asasi manusia," kata Savitri.

Sementara pegiat Komunitas Buruh Migran Serantau Nasrikah mengatakan, persyaratan un¬tuk mendapatkan E-Kad rumit dan beresiko membuat pekerja migran Indonesia dideportasi. Akibatnya, pekerja migran enggan untuk mendaftar.

"Seharusnya, pemerintah Indonesia mendesak pemerintah Malaysia agar mempermudah persyaratan tersebut tanpa harus pekerja migran kehilangan pekerjaannya dan bekerja sah di Malaysia," terangnya.

Jika pemerintah Malaysia serius ingin membuka program legalisasi pekerja migran tak berdokumen, seharusnya dilakukan program pemutihan. "Tentunya tanpa mensyaratkan hal-hal yang memungkinkan pekerja migran terancam razia karena tidak memenuhi persyaratan," imbuhnya.

Sedangkan Program Manajer Human Right Working Group (HRWG), Daniel Awigra, me¬nyesalkan sikap beberapa pemerintah negara ASEAN yang menghambat laju penyusunan kerangka perlindungan untuk buruh migran yang sesuai dengan standar hak asasi manusia. 

"Terutama, soal status instrumen yang didorong untuk mengikat secara hukum, melind¬ungi setiap buruh migran (dan anggota keluarga) terlepas status legalnya," katanya. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan