Laman

Translate

FGD DARING PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN

Jumat, 2 Juli 2021, DISKUSI PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN – Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa baru saja menyelenggarakan diskusi terkait perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan.

Sebagaimana diketahui, Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan merupakan satu dari tiga peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, padahal sudah tiga tahun lebih UU PPMI disahkan, melampaui amanat yang terkandung dalam UU tersebut, bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU PPMI.

Diskusi yang berlangsung pada pukul 14.15 – 15.45 WIB melalui zoom meeting ini dihadiri oleh enam partisipan, yakni Daniel Awigra (HRWG), Yatini Sulityawati (KSBSI), Bobi Anwar Maarif (DPN SBMI), Moch. Kholili (Migrant Aid Jember), Sayyid M. Jundullah (Sekretariat JBM), dan Nur Alia Rosi (Sekretariat JBM). Diskusi berlangsung dengan baik tanpa hambatan yang signifikan, terlebih partisipan antusias dan aktif memberikan pendapat dan masukan hingga kegiatan berakhir.

Daniel Awigra mengawali dengan menyatakan bahwa selama ini kebijakan masih terlalu berfokus terhadap good governance, namun seringkali masih belum dapat mengaplikasikan rights-based approach. Padahal, dalam upaya pelindungan PMI, pendekatan HAM sangat diperlukan. Beliau lebih lanjut menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga garis besar permasalahan: (a) permasalahan kelembagaan; (b) permasalahan struktural (termasuk mentalitas pejabat); dan (c) permasalahan regularisasi migrasi kerja, karena memang pada hakikatnya tugas pokok dari Atase Ketenagakerjaan adalah melakukan diplomasi berbasis HAM dalam menanggulangi irregularitas.

Yatini, di sisi lain, menyampaikan beberapa temuan menarik yang langsung beliau temui di lapangan, berdasarkan pengalaman mengunjungi Perwakilan RI di luar negeri, salah satunya KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Yatini menekankan bahwa selain diplomasi, Atase Ketenagakerjaan memiliki tugas lain sesuai amanat UU PPMI, seperti validasi mitra usaha hingga pemberi kerja yang harus diumumkan secara reguler. Meskipun permasalahan PMI akan lebih aktif ditangani oleh Atase Ketenagakerjaan, hingga saat ini, peran kekonsuleran masih sangat dominan. Atase Ketenagakerjaan belum memiliki semacam bargaining position yang cukup mumpuni dan terkesan masih terdiskriminasi, dengan konteks bahwa Atase Ketenagakerjaan adalah perwakilan Kemnaker RI di luar negeri, namun mereka berposisi di dalam struktur Perwakilan RI di luar negeri yang dibawahi oleh Kemlu RI. Apalagi Atase tidak memiliki paspor diplomatic.

Moch. Kholili mengatakan bahwa pada dasarnya, perlu terdapat reviu strategis tentang apakah pelindungan PMI sebenarnya bagian dari prioritas Perwakilan RI. Mereka kebanyakan masih jauh dari isu strategis tersebut, sehingga hanya menjadi bagian kecil dari Perwakilan RI. Terlebih, Daniel Awigra menimpali bahwa memang setiap Perwakilan RI biasanya dipengaruhi oleh siapa duta besarnya, karena sebagian duta besar ada yang lebih besar berfokus di isu ekonomi, politik, atau bahkan sosial budaya. Kemudian, penting nantinya menempatkan orang yang kompeten, memiliki kepemimpinan dan latar belakang yang mumpuni untuk dapat menjadi Atase. Moch. Kholili menimpali bahwa selama ini, dalam pelatihan dan pendidikan Calon Atase Ketenagakerjaan, isu yang menjadi perhatian masih bersifat umum, belum menyentuh spesifisitas PMI, sehingga nantinya juga perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi Atase yang mendalami spesifisitas persoalan PMI.

Moch. Kholili kemudian menambahkan bahwa, lagi-lagi soal integrasi data merupakan hal yang sangat krusial. Sangat baik apabila data yang ada di tingkat daerah bisa terintegrasi hingga ke Atase Ketenagakerjaan untuk memperkuat pelindungan PMI, artinya Pemerintah harus membuka akses yang luas kepada keluarga di Indonesia yang butuh pelayanan dari pihak-pihak yang berwenang.

Bobi Anwar Maarif berharap bahwa pengerjaan Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan ini bisa diinvervensi dengan baik oleh Presiden. Dalam mengintervesi rancangan perpres tersebut, Presiden harus mampu menunjukkan semangat yang luar biasa, sebagaimana semangat beliau ketika menerbitkan UU Ciptaker dan peraturan-peraturan pelaksananya.

Meskipun jumlah partisipan diskusi hari ini masih terbatas, kegiatan ini bukan merupakan satu-satunya kegiatan yang akan dilakukan oleh JBM dalam merumuskan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan. JBM berharap bahwa ke depannya dapat menyelenggarkan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak orang, sehingga dapat menjaring lebih banyak masukan agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan mampu membantu serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan, demi #PelindunganPMI. (SMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan