Laman

Translate

[Press Release] IWD 2021: Urgensi Perlindungan pada Perempuan Buruh Migran Indonesia di Masa Pandemi Covid-19


International Woman’s Day bermula saat buruh perempuan melakukan perlawanan guna menuntut hak dan memperjuangkan kesetaraan, saat itu buruh perempuan terus mendapatkan kekerasan, ketidakadilan dan perlakuan yang buruk. Perlawanan ini berlangsung dan terus diperingati setiap tanggal 8 Maret, hingga pada tahun 1977, PBB meresmikan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia.

Dalam sejarah perkembangannya, negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah kekerasan terhadap perempuan, begitupun pada wajah migrasi Indonesia. Telah sejak lama wajah migrasi Indonesia berwujud perempuan. Hal ini pula yang menyebabkan terdapat berbagai bentuk kerentanan dan kekerasan berbasis gender pada perempuan buruh migran semakin meningkat. Perempuan PMI seringkali dijauhkan dari pemenuhan hak-haknya dalam bekerja, seperti untuk beristirahat bila mengalami sakit, baik sakit yang diakibatkan oleh menstruasi maupun sakit lainnya, upah dan fasilitas yang tidak sama antara perempuan PMI dan laki-laki PMI, serta jenis pekerjaan perempuan PMI lebih banyak diarahkan untuk bekerja pada sektor rumah tangga. Dalam Catatan Tahunan Serikat Buruh Migran (SBMI) 2020, SBMI menerima pengaduan sebanyak 643 kasus. 232 kasus diantaranya berasal dari sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Savitri  Wisnuwardhani, SekNas JBM mengatakan bahwa kasus yang dialami perempuan buruh migran Indonesia bukannya berkurang tetapi meningkat baik secara jumlah maupun varian kasusnya. Hasil survey yang telah dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran, selama Pandemi Covid-19 beban pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan buruh migran menjadi berlipat. Dalam sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), perempuan PRT banyak yang diharuskan tinggal di rumah majikan, hal ini juga meningkatkan kekerasan yang dialami perempuan PRT oleh majikan. Hasil survey juga menunjukkan bahwa selama Pandemi Covid-19 ini, pekerja lepas harian sangat terdampak. Tawaran pekerjaan semakin minim, masifnya xenophobia dan minimnya akses perempuan PMI pada bantuan bantuan sosial yang ada baik di negara tujuan maupun setelah kembali ke Indonesia.  

Putri Fahimatul, Solidaritas Perempuan, menyampaikan bahwa situasi covid 19 semakin membuka wajah sistem tata kelola migrasi kita yang kacau dengan lebih jelas. Setidaknya terlihat bagaimana situasi perempuan buruh migran yang terus mengalami penindasan dalam berbagai bentuk. Sebut saja perampasan ruang hidup, pelanggaran hak dan kekerasan, penindasan seksualitas, dan diskriminasi yang dilegitimasi negara melalui kebijakan-kebijakannya. Negara seharusnya fokus melaksanakan tanggung jawabnya untuk melindungi hak perempuan buruh migran, khususnya di masa pandemi ini. Tapi faktanya negara masih gagal membangun tata kelola migrasi yang melindungi perempuan buruh migran, namun justru semakin eksploitatif dan memperkuat kekerasan dan penindasan terhadap perempuan buruh migran. International Women’s Day adalah hari di mana kita memperkuat gerakan solidaritas untuk bersama sama menantang dominasi kuasa untuk merebut kembali kedaulatan perempuan.

Boby Alwy, SBMI menegaskan bahwa Pandemi merupakan ujian berat dalam pelaksanaan pelindungan PMI, terutama perempuan buruh migran. Pemerintah pusat telah mengalokasikan kebijakan anggaran yang besar, maka seharusnya walaupun di masa Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah tetap dapat melindungi PMI. Perlindungan harus mencakupi seluruh fase baik dari pemberangkatan hingga fase pemulangan. Pada fase sebelum berangkat, misalnya, perlu singkronisasi terkait alat test covid antara Indonesia dengan negara tujuan penempatan, sehingga peristiwa penolakan pekerja migran, seperti yang terjadi di Taiwan, tidak terjadi lagi. Pada fase penempatan, banyak perempuan buruh migran yang terdampak, sehingga berujung pada pemutusan kontrak, kerja yang semakin berat, dan penahanan di detention center imigrasi dan pemulangan paksa, termasuk PMI yang harus mendapatkan bantuan sosial. Kemenlu sudah membuat rencana kontijensi, maka saat ini harus kuat dalam pelaksanaan perlindungannya. Pada fase pemulangan, banyak perempuan buruh migran yang mengalami kehilangan koper, serta kesulitan mengakses transportasi, dan kartu ponsel karena biaya yang mahal.

Ayu Eza Tiara, LBH Jakarta, menekankan bahwa Pandemi Covid-19 telah menjadikan hidup perempuan buruh migran Indonesia semakin terbelakang. Dari data-data yang ada, banyak permasalahan menimpa pekerja migran seperti, tidak dapat pergi bekerja, dan bagi mereka yang bekerja terpaksa harus bekerja lembur akibat adanya kebijakan pembatasan mobilitas, kekurangan makanan, kehabisan uang untuk bertahan hidup di luar negeri hingga mendapatkan stigma sebagai penyebar virus. Berdasarkan masalah yang ada sudah sepatutnya pemerintah melakukan langkah-langkah yang luar biasa untuk melindungi hak-hak perempuan buruh migran. Dalam hal ini penting bagi pemerintah untuk membangun pemulihan dan mencegah penurunan spiral pekerjaan dan kondisi kerja selama dan setelah krisis pandemic Covid-19. 

Dalam rangka memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2020, maka Jaringan Buruh Migran yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran menyatakan bahwa Pemerintah harus:

1.      Segera mengesahkan seluruh aturan turunan UU PPMI dengan perspektif HAM dan responsif gender karena telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh UU;

2.      Memastikan semua jenis layanan migrasi yang ada harus memiliki perspektif gender baik dari tingkat desa, kab/kota, provinsi, pusat dan di negara tujuan. Pemastian ini untuk memastikan terwujudnya perlindungan dengan menggunakan pendekatan non diskriminatif dan menjunjung tinggi kesetaraan;

3.      Memberikan akses partisipasi organisasi buruh migran dan organisasi yang peduli pada isu migran dalam dalam setiap pembuatan kebijakan dan implementasi layanan baik di tingkat desa, daerah dan tingkat nasional;

4.      Segera mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan dan mengancam hak-hak buruh migran, terutama pada perempuan buruh migran.

5.       Segera membahas dan mengesahkan KILO 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) untuk memperkuat diplomasi perlindungan perempuan buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai PRT migran di negara tujuan;

6.      Segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan mengedepankan prinsip HAM dan responsif gender untuk seluruh perempuan Indonesia baik yang ada di Indonesia maupun yang bekerja keluar negeri agar terlindungi dari tindak kekerasan seksual.

 

Jakarta, 09 Maret 2021

Jaringan Buruh Migran

Solidaritas Perempuan

Serikat Buruh Migran Indonesia

LBH Jakarta

 

 

Narahubung :

Savitri Wisnuwardhani: 0821-24714978

Putri Fahimatul : 0857-8593-4496

Bobi Alwy: 0852-8300-6797

Ayu Eza: 0821-1134-0222



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan