Siaran Pers
UU Ciptakerja :
Ketiadaan Negara Hadir
untuk Melindungi Pekerja Migran Indonesia!
Beberapa waktu ini, di Indonesia sedang berlangsung aksi
demonstrasi penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Istilah Omnibus Law
ini pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo saat dilantik sebagai
Presiden Republik Indonesia untuk kedua kalinya.
Omnibus law merupakan sebuah UU yang dibuat
untuk merampingkan peraturan dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan
agar lebih tepat sesuai dengan tujuannya.
Tepat pada 2 November 2020, Presiden Joko Widodo meneken
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Kini
Omnibus Law UU Cipta Kerja telah resmi diunggah oleh pemerintah dalam situs
Setneg.go.id. Berdasarkan pada Salinan UU yang berasal dari situs tersebut,
masyarakat menemukan begitu banyak kekeliruan dan kesalahan, baik secara teknis
maupun substansi. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Praktino juga
menyampaikan bahwa terdapat kekeliruan dalam penekenan yang dilakukan oleh
Presiden Joko Widodo, walau kekeliruan tersebut hanya bersifat teknis penulisan
dan administratif. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa pembentukkan Omnibus
Law UU Cipta Kerja yang dilakukan secara cepat dan terburu-buru menjadikan UU
tersebut sebagai produk cacat hukum yang tidak memiliki keberpihakan pada
pekerja dan lingkungan.
Ketidakberpihakan
ini tentunya dirasakan pula oleh buruh migran, baik yang berada di dalam maupun
yang bekerja ke luar negeri. Permasalahan yang ditimbulkan oleh Omnibus Law UU
Cipta Kerja semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan bagi para buruh
Migran. Bagi para perempuan buruh migran, tentunya hal ini akan semakin
memperdalam dan memperlebar ancaman pelanggaran hak, ketidakadilan hingga penindasan.
Sentralisasi yang menjadi spirit Omnibus Law UU Cipta Kerja juga berpotensi
menghilangkan peran pemerintah daerah dan menyempitkan ruang masyarakat sipil
di tingkat daerah. Hal ini menjadi langkah mundur setelah Indonesia
meratifikasi Konvensi Migran 1990 dan mengesahkan UU PPMI.
Savitri, SekNas JBM
menegaskan semangat UU PPMI yang berbeda dari UU 39/2004 dalam memberikan
perlindungan kepada PMI adalah pemberian peran yang lebih besar kepada
pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan daerah dibandingkan peran kepada Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Sayangnya, dalam Omnibus Law UU
Cipta Kerja yang baru saja disahkan, pasal mengenai perizinan kepada P3MI yang
menjadi salah satu aspek untuk memastikan perlindungan kepada PMI
disimplifikasikan menjadi perizinan administrasi, sedangkan dalam migrasi
kerja, yang bermigrasi bukan barang tetapi manusia yang harus dilindungi.
Akibatnya pengawasan pada aktor swasta yang sering kali melakukan pelanggaran
hak PMI di setiap proses migrasi menjadi lemah.
Hariyanto,
SBMI, mengatakan bahwa dari awal pembentukan
Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak memasukkan UU PPMI ke dalam naskah akademik
tidak memiliki tujuan yang jelas, keterbukaan informasi dalam pembahasannya dan
telah cacat secara formil. Dengan dicabutnya kewenangan Kementrian
Ketenagakerjaan dalam memberikan izin kepada P3MI, yang digantikan oleh
Pemerintah Pusat, justru akan mengacaukan tata Kelola perizinan P3MI yang baru
saja dibangun oleh UU PPMI dan PERMENAKER. Penerbitan izin P3MI yang akan
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sangat tidak jelas rumusannya dalam Omnibus Law
UU Cipta Kerja, sehingga berpeluang memperlemah persyaratan dalam pemberian
izin P3MI yang tentunya akan berdampak pada pelindungan PMI.
Ayu
Eza Tiara, LBH Jakarta menyatakan
bahwa UU Cipta Kerja sudah dapat dipastikan akan memperburuk kondisi
kesejahteraan masyarakat dalam negeri, yang pada akhirnya mendorong mereka
untuk bermigrasi ke luar negeri. Namun demikian, bagi mereka yang bekerja di luar
negeri juga belum terjamin keselamatannya karena pemerintah Indonesia masih
belum dapat mengatasi permasalah yang kerap dialami pekerja migran, seperti
kasus perdagangan orang, penipuan, kekerasan, kontrak kerja yang tidak adil,
kriminalisasi yang kerap dialami pekerja migran di luar negeri akibat minimnya
pengawasan dan perlindungan yang ada saat ini.
Alyssa,
HRWG menuturkan mengenai Pelonggran izin
pembentukan P3MI paada Omnibus Law akan berdampak pada semakin tingginya
permasalahan PMI dan malapraktek yang berakibat pada human trafficking,
padahal ASEAN telah menandatangani ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers yang di dalamnya mengatur bahwa
negara-negara bagian, salah satunya Indonesia harus menjamin hak-hak pekerja
migran mulai dari perlindungan haknya, menjamin kebijakan dan prosedur
rekrutmen pekerja, penyebaran, pemulangan hingga penghapusan malapraktek dalam
perekrutan.
Arieska,
Solidaritas Perempuan menekankan terutama bagi perempuan
buruh migran, tentunya akan semakin memperdalam dan memperlebar ancaman
pelanggaran hak, ketidakadilan maupun penindasan. Sentralisasi yang menjadi
spirit Omnibus Law UU Cipta Kerja juga berpotensi menghilangkan peran
pemerintah daerah dan menyempitkan ruang masyarakat sipil di tingkat daerah.
Ini adalah langkah mundur setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990
dan mengesahkan UU PPMI.
Yatini,
KSBSI menyerukan bahwa jaminan sosial yang
seharusnya dapat diterima oleh PMI. Jaminan Sosial merupakan jaring pengaman
bagi seluruh warga negara untuk menwujudkan hidup layak yang diselenggarakan
oleh negara, sedangkan PMI adalah bagian dari pilar ekonomi bangsa yang tidak
pantas mendapatkan perlakukan diskriminasi dalam jaminan sosial, Wujudkan
keadilan bagi PMI dengan mengikutsertakan PMI ke seluruh Program jaminan sosial,
termasuk ke dalam Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Jaminan Kesehatan dengan premi
ditanggung oleh negara.
Untuk memperingati
Hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini (10/11/2020) dan menyikapi
penekenan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi Widodo untuk Omnibus Law UU Cipta
Kerja pada 2 November 2020, maka Jaringan Buruh Migran yang merupakan koalisi
dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan
organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran dengan tegas menyatakan bahwa :
- Omnibus Law UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah
menciderai dan mengabaikan suara dan kepentingan rakyat.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah bukti negara tidak hadir
dan melepaskan diri dari tanggung jawab perlindungan kepada warga negara,
khususnya buruh migran. Omnibus Law UU Cipta Kerja justru mengendorkan
pengawasan pada aktor swasta yang sering melakukan pelanggaran hak buruh migran
di setiap tahapan proses migrasi.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Pasal 6 Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik karena banyak pasal yang berbenturan dan berpotensi merampas hak atas
hidup, serta berpotensi melanggar berbagai aspek hak atas pekerjaan dalam Pasal
7 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti kondisi kerja yang adil,
upah/gaji yang adil, dan penghidpan yang layak bagi pekerja. Selain itu, juga
merupakan langkah mundur perlindungan pekerja migran sebagaimana mandat
Konvensi Migran Tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
- Menuntut Pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan
UU PPMI dan mengimplementasikan jaringan pengaman perlindungan PMI di masa
Pandemi Covid-19.
- Menuntut agar Omnibus Law UU Cipta Kerja segera dicabut dan fokus pada penanganan krisis yang terjadi di berbagai sektor.
Jakarta,
10 November 2020
JARINGAN
BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI,
KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda,
KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia,
UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS,
Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta,
TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right
Narahubung :
Savitri Wisnuwardhani 082124714978
Hariyanto 082298280638
Alyssa 082296060601
Arieska 081280564651
Ayu Eza 082111340222
Yatini 085312303209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar