Laman

Translate

[19 - 03 - 2018] 21 TKI Terancam Hukuman Mati di Arab Saudi

Butuh Diplomasi Kuat dari Pemerintah Indonesia

Program Officer Jaringan Buruh Migran Citra Hamidah, Project Office Human Rights Working Group (HRWG) Wike Devi, Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, perwakilan Komisi Migran Konferensi Wali Gereja Indonesia, dan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo (dari kiri) dalam konferensi pers ”Menyikapi Eksekusi Mati terhadap Zaini Misrin” di Jakarta, Senin (19/3).
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mengecam eksekusi mati Muhammad Zaini Misrin, tenaga kerja Indonesia asal Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Eksekusi telah dilaksanakan pada Minggu (18/3) pukul 11.30 waktu Arab Saudi tanpa diketahui Pemerintah Indonesia.

Saat ini masih ada 21 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Arab Saudi yang terancam hukuman mati. Pemerintah pun didesak mengerahkan seluruh sumber daya politik dan diplomasi yang lebih kuat untuk melindungi warga negaranya yang terancam hukuman mati tersebut.

”Kasus ini memperlihatkan bahwa tidak ada pencegahan yang berarti dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Upaya diplomasi Pemerintah Indonesia juga masih lemah,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo seusai konferensi pers ”Menyikapi Eksekusi Mati terhadap Zaini Misrin” di Jakarta, Senin (19/3).

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo
Zaini (53) merupakan buruh migran yang bekerja sebagai sopir di Saudi Arabia sejak 1996. Pada 13 Juli 2004, ia ditangkap oleh pihak keamanan Arab Saudi karena dituduh membunuh majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy. Kemudian, pada 17 November 2008, Zaini diduga mendapatkan tekanan dari aparat Arab Saudi untuk mengakui jika dirinya melakukan pembunuhan.

Sementara, pada 2009 pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah baru mendapatkan akses bertemu Zaini setelah vonis hukuman mati dijatuhkan.

Saat itu, Zaini mengaku dirinya tidak melakukan pembunuhan dan mendapatkan tekanan dari aparat polisi Saudi Arabia dan penerjemah.

Atas pengakuan itu, KJRI Jeddah mengirimkan surat permohonan kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi agar membebaskan Zaini dari hukuman mati melalui sidang banding pada 18 Oktober 2009.

Langkah permohonan pengampunan atas kasus Zaini terus berlanjut hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden mengajukan permohonan sebanyak tiga kali, yaitu pada September 2015 saat presiden berkunjung ke Arab Saudi, pada Maret 2017 saat Raja Salman Raja Arab Saudi berkunjung ke Indonesia, dan pada September 2017 melalui surat permohonan pembebasan kasus hukuman mati. Namun, upaya tersebut tidak berbuah hasil sehingga Zaini tetap menjalani hukuman mati.

Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah
Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menyatakan, kasus Zaini ini merupakan kasus keenam TKI yang bekerja di Arab Saudi yang meninggal karena hukuman mati. Lima TKI sebelumnya adalah Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, Darman Agustri, dan Karni.

”Kami terus desak Pemerintah Indonesia untuk mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk membebaskan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia juga harus dilakukan sebagai komitmen moral menentang hukuman mati terhadap siapa pun. Jangan sampai ada TKI yang bernasib sama dengan Zaini berikutnya,” ujarnya.

Programme Officer Jaringan Buruh Migran Citra Hamidah menambahkan, masyarakat sipil juga menuntut Pemerintah Indonesia mengeluarkan Nota Protes Diplomatik kepada Kerajaan Arab Saudi.

Dari kasus Zaini ini, Pemerintah Arab Saudi dinilai melanggar prinsip-prinsip tata karma hukum internasional karena tidak pernah menyampaikan mandatory consular notification (pemberitahuan konsuler wajib).

”Pemberitahuan ini tidak pernah disampaikan, baik pada saat proses peradilan dimulai dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati sampai pada eksekusi hukuman mati diberikan,” kata Citra.

Perlindungan dari desa
Project Office Human Rights Working Group (HRWG) Wike Devi berpendapat, saat ini pemerintah semakin baik dalam melindungi buruh migran yang bekerja di luar negeri.

Perlindungan TKI saat ini semakin ditekankan untuk mulai dilakukan dari tingkat desa. Hal tersebut seusai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Project Office Human Rights Working Group (HRWG) Wike Devi
Menurut Wike, dalam peraturan tersebut Pemerintah Desa bertugas dan bertanggung jawab menerima dan memberikan informasi dari instansi yang merekrut tenaga kerja migran.

”Selain itu, Pemerintah Desa juga memfasilitisasi persyaratan administrasi kependudukan calon buruh migran, termasuk memberikan pendidikan dan pelatihan terkait hak serta kewajiban buruh migran, bahasa, budaya, dan peraturan yang berlaku di negara tempatnya bekerja nanti,” kata Wike.

Pasal 42 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2017 mengatur, Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab, antara lain menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Selain itu juga melakukan verifikasi data dan pencatatan calon pekerja migran Indonesia, memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan calon pekerja migran Indonesia, melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan pekerja migran Indonesia, melakukan pemberdayaan kepada calon pekerja migran Indonesia, pekerja migran Indonesia, dan keluarganya.

Add caption
Ia menilai, selama ini buruh migran yang diberangkatkan ke luar negeri belum diperhatikan, mulai dari hulu, yaitu di tingkat desa, hingga hilir saat sudah di bawah pengaturan negara tempatnya bekerja.

Sebagian besar buruh migran biasanya tidak memiliki dokumen yang jelas, tidak ada kepastian asuransi perlindungan kerja, data diri yang tidak valid, tidak ada pendidikan prakeberangkatan, serta tidak ada pemberitahuan kontrak kerja sebelum keberangkatan.

”Ini yang harus diperhatikan dan menjadi prioritas pemerintah saat ini,” ujarnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan