Laman

Translate

[25 - 02 - 2018] Tahun 2017, Kasus yang Menimpa Pekerja Migran Capai 7.600

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan catatan Jaringan Buruh Migran, terdapat 7.600 kasus pekerja migran sepanjang tahun 2017. Pemerintah diminta untuk membuat peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia agar pengawasan yang dilakukan dari hulu ke hilir lebih optimal.

Berdasarkan data Jaringan Buruh Migran (JBM), masalah yang banyak dialami pekerja migran Indonesia di negara penempatan adalah kelengkapan dokumen sebanyak 6.300 kasus, perdagangan orang 1.083 kasus, dan meninggal sebanyak 217 kasus.

Sekretaris Nasional JBM Savitri Wisnuwardhani, dalam konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2), menyatakan, jumlah kasus tersebut menurun dibandingkan tahun 2016, tetapi tetap dinilai tinggi dari segi kuantitas.

”Belum menurunnya kasus pekerja migran secara signifikan karena kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran belum benar-benar terimplementasi,” kata Savitri. Selain itu, pengawasan kebijakan yang telah diterapkan untuk memastikan keselamatan pekerja migran juga dinilai masih lemah.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arrmanatha Nasir, pada kesempatan yang terpisah, mengatakan, jumlah kasus pekerja migran terbanyak berada di negara yang paling sering menjadi tujuan penempatan.

Berdasarkan data dalam Kaleidoskop Pelindungan WNI ’17 oleh Kemlu, populasi warga negara Indonesia (WNI) terbanyak berada di Malaysia 1,31 juta orang, Arab Saudi 611.129 orang, dan Taiwan 213.319 orang. Secara keseluruhan, jumlah pekerja migran per 2017 di sektor informal 2,74 juta jiwa atau 97 persen dari jumlah pekerja migran di luar negeri.

Contoh pekerjaan di sektor informal adalah pembantu laksana rumah tangga (PLRT), tukang kebun, tukang masak, pengasuh, dan sopir.

Masih tingginya jumlah kasus yang dialami pekerja migran dan ditambah lagi pada Februari ini terjadi beberapa kasus pelanggaran hak pekerja migran hingga meninggal, membuat peraturan turunan UU No 18/2017 mendesak.

Misalnya, Adelina Jemirah Sau (20) yang adalah seorang pekerja migran tanpa dokumen. Ia meninggal di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Penang, Malaysia, pada 11 Februari, diduga akibat disiksa majikan. Stanis Meo (25), buruh kelapa sawit, juga meninggal disiram air keras oleh majikan di Kinabalu, Malaysia Timur, 19 Februari. Ada pula Petronela Nahak yang diketahui tidak digaji selama 7 tahun.

Sebanyak 27 organisasi yang tergabung dalam JBM mendesak pemerintah segera membuat peraturan turunan dari UU No 18/2017 itu. UU tersebut telah diresmikan sejak 25 Oktober 2017.

Pemerintah saat ini masih menggunakan peraturan turunan UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Padahal, terdapat sejumlah tambahan materi dalam UU No 18/2017. Misalnya, perlindungan pekerja migran yang memiliki dokumen dan tidak, keluarga pekerja migran, serta awak kapal dan pelaut perikanan (ABK).

Ada pula pemberian jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan, penjaminan pekerja migran tidak dikenai biaya penempatan, penjabaran wewenang pemerintah daerah, dan persyaratan bagi negara tujuan.

Savitri mengatakan, peraturan turunan harus mencakup deskripsi tugas layanan migrasi secara detail oleh pemerintah desa, kabupaten, pusat, hingga perwakilan di luar negeri. ”Layanan harus terintegrasi, bebas pungli, dan transparansi sehingga pekerja migran tidak terkena risiko trafficking,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menambahkan, peraturan turunan harus memastikan agar perjanjian kerja berlaku di negara pengirim dan negara penerima pekerja migran. Selain itu, perjanjian harus ditulis dalam dua bahasa dan disertakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui nota kesepahaman antarnegara.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia, di Jakarta, Minggu (25/2).
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia, di Jakarta, Minggu (25/2).

Penanganan kasus pekerja oleh SBMI periode Januari-Februari 2018 adalah 84 kasus mewakili anggota SBMI dan 434 kasus mewakili pekerja migran lain dengan kasus yang sama. Kasus yang paling banyak dikeluhkan adalah terkait waktu kerja di luar kesepakatan (20 persen), pungutan biaya penempatan yang berlebih (20 persen), dan gaji tidak dibayar (9 persen).
Data SBMI juga menunjukkan, terjadi pelanggaran kontrak sebanyak 1.501 kasus sepanjang tahun 2016-2017.

Berdasarkan kasus yang ditangani SBMI, perjanjian kerja di negara asal yang telah disetujui pekerja sering tidak berlaku di negara penempatan. Ditambah lagi, perjanjian yang berlaku di negara tujuan dinyatakan lebih merugikan karena pekerja migran tidak sepenuhnya memahami bahasa negara tersebut.

”Kasus yang masuk menunjukkan mereka mengalami eksploitasi secara psikis, fisik, dan ekonomi,” ujar Bobi. Masalah tersebut diharapkan dapat diatasi dengan adanya UU No 18/2017.

Konsensus ASEAN 

Indonesia, bersama dengan negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), telah meratifikasi ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers pada 14 November 2017.

Konsensus tersebut merupakan bentuk komitmen negara anggota ASEAN untuk membentuk instrumen perlindungan dan pemajuan hak pekerja migran. Dalam Kaleidoskop Pelindungan WNI ’17, rencana aksi akan disusun oleh ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW).

Servulus Bobo Riti, Kepala Bagian Humas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), menyatakan, konsensus tersebut mencerminkan semangat dan kebutuhan untuk melindungi hak pekerja migran. Semua negara yang telah menandatangani konsensus tersebut telah terikat dalam seluruh klausal yang telah disepakati bersama.

”Namun, konsensus tersebut belum diterapkan karena baru disahkan,” ujarnya. Selain itu, pemerintah masih menggunakan perjanjian bilateral antarnegara yang masih berlaku.

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
Jaringan Buruh Migran mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).

Project Officer Human Right Working Group (HRWG) Wike Devi menyatakan, konsensus tersebut masih memiliki kelemahan karena tidak melibatkan pekerja migran dalam pembahasan instrumen dan penyelesaian masalah mereka dalam peraturan negara penempatan.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Oky Wiratama, menambahkan, pemerintah memang telah menyediakan layanan aduan bagi pekerja migran di kedutaan besar dan konsulat. Hanya saja, pengaduan dalam bentuk layanan call center masih sulit tersambung sehingga keluhan sulit untuk disampaikan.

”Ditambah lagi, sistem layanan daring antarlembaga, yaitu Kemlu, Kementerian Tenaga Kerja, dan BNP2TKI tidak terintegrasi satu sama lain,” kata Oky. (DD13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan