
Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
Bantuan Hukum bagi Buruh Migran
“Bantuan Hukum bagi Buruh Migran”
6 Agustus 2015
Semenjak tahun 2008 tercatat sedikitnya 7 (tujuh) orang buruh migran Indonesia telah dihukum mati karena permasalahan hukum di negara tempatnya bekerja. Diperkirakan buruh migran yang hingga tahun menghadapi kasus hukum di negara penempatan yakni sebanyak 29.237 orang. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai bagian dari Jaringan Buruh Migran (JBM) melihat bahwa ada ketidaksiapan pemerintah yang mengakibatkan lemahnya perlindungan bagi buruh migran Indonesia. Permasalahan yang dialami oleh buruh migran seringkali seputar pelanggaran hak, mulai dari permasalahan gaji, sakit akibat bekerja dan permasalahan di tahapan migrasi baik ketika sebelum berangkat, berangkat dan kepulangan.
Konsep perlindungan dan advokasi bagi buruh migran Indonesia yang belum optimal mendorong LBH Jakarta untuk mengadakan diskusi tematik bertemakan “merumuskan masalah dan solusi dalam hal sanksi dan bantuan hukum dalam rangka perlindungan buruh migran”. Diskusi diadakan pada tanggal 6 Agustus 2015, bertempat di Kantor LBH Jakarta dengan narasumber Asfinawati, salah satu tokoh yang telah aktif memperjuangkan isu buruh migran di Indonesia.
Asfinawati sebagai narasumber membuka diskusi dengan menyatakan bahwa ada keanehan dalam regulasi buruh migran. Ada klausul yang hanya mengikat moral dan tidak memiliki aturan turunan. Pemaparan Asfinawati dimulai dari sulitnya persyaratan kelengkapan berkas. Kesulitan ini menurutnya menjadi pemicu buruh migran untuk tidak memiliki dokumen yang lengkap, imbasnya buruh migran menjadi buruh ilegal dan terlibat dalam permasalahan perdagangan orang, korupsi dan perbudakan. Asfinawati menekankan ke depannya perlu ada mekanisme teknis agar perlindungan bagi buruh migran dapat dilaksanakan dan diantisipasi semenjak masih di Indonesia, ketika bekerja di negara penempatan dan ketika kembali ke Indonesia.
Daniel Awigra mewakili Human Rights Working Group (HRWG) menyatakan perlu adanya kerjasama antar penegak hukum yang memungkinkan kerjasama antar sektor. Pada pelaksanaannya, selama ini permasalahan berkaitan dengan diskriminasi, batas usia minimum dan pelanggaran atas pekerja anak. Menurut Awi kita bisa membangun kerjasama regional untuk mengatasi permasalahan tersebut. Terutama antarsesama penegak hukum. Diskusi teknis advokasi dan perlindungan bagi buruh terus berlanjut, Savitri mewakili JBM mengatakan bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum bagi buruh sudah termaktub dalam UU Bantuan Hukum.
Permasalahan yang dialami oleh buruh migran mengalami kesulitan dalam penyelesaian kasusnya dikarenakan PJTKI selalu memulangkan buruh migran. Menurut Eny dari LBH Jakarta, langkah PJTKI tersebut justru menyulitkan penuntasan hak yang diperjuangkan dalam langkah advokasi buruh migran di negara penempatan. Peran PJTKI juga dinilai masih sebatas administratif saja. Sebaga contoh, PJTKI tidak mengetahui posisi, persebaran dan status Warga Negara Indonesia yang menjadi buruh migran di negara penempatan. Bahkan PJTKI tidak mengetahui buruh yang berada dalam status terancam hukuman mati sekalipun.
Diskusi mengenai bantuan hukum bagi buruh migran ditutup dengan merumuskan rekomendasi sementara. Diskusi tematik yang terus dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran akan berlanjut pada tema-tema lainnya untuk dapat mengkritisi dan merumuskan rekomendasi yang lebih komprehensif. JBM bertekad untuk terus memperjuangkan perlindungan dan advokasi buruh migran melalui diskusi, riset dan langkah kongkret lainnya.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar