Pertemuan yang dilaksanakan di Indramayu bukanlah FGD yang terakhir, akan masih banyak kegiatan diskusi rutin yang dilakukan di beberapa wilayah kantong PMI. Harapannya, kedepan, LTSA baik secara aturan maupun layanan, menjadi lebih baik, berperspektif HAM dan gender serta responsive terhadap kebutuhan akar rumput. Misalnya, seperti yang terungkap dalam FGD tersebut, peserta FGD mengatakan perlunya sosialisasi dan penyebaran informasi terkait dengan fungsi dan alur pelayanan dalam LTSA. (VM&SWD)

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
MENGAWAL ATURAN TURUNAN UU PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Audiensi JBM Peraturan Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Jumat, 05/02/2021 - Koalisi Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari Bobi Alwy(Dpn Sbmi), Icha Alysa(Human Rights Working Group (HRWG Indonesia), Savitri Wisnuwardhani) (Jaringan Buruh Migran - jbm), Ayu Eza (LBH Jakarta), Yatini Sulistyowati (KSBSI), Putri Fahimatul Hasni (Solidaritas Perempuan) bersama-sama dengan Jaringan di 4 daerah; Neni Kusnaini (Seruni Banyumas), Juwarih Setia (Dpc Sbmi Indramayu), Maria Hingi(SBMI NTT), Akhmad Soim (KSBSI Jatim) mengadakan audiensi secara online dengan pihak Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk membahas mengenai update perkembangan aturan turunan UU PPMI.
Potret Kebijakan dan Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran Indonesia Sepanjang 2020
Potret Kebijakan dan Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran Indonesia Sepanjang 2020
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mencatat dalam laporan Catahu pada tahun 2020 terjadi peningkatan kasus dibandingkan tahun 2019 dengan ragam kasus yang dialami PMI berupa kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran atas kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa karena kriminalisasi yang dialami.
Data
Solidaritas Perempuan (SP) lebih lanjut memperlihatkan terjadinya kekerasan berlapis yang dialami perempuan
PMI. Dari 63 pengaduan kasus yang dilaporkan, terdapat 188
jenis/bentuk kasus yang dialami. Penanganan kasus yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa korban trafficking
pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk
kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik dan penahanan dokumen.
Pandemi
Covid-19 yang terjadi juga menyebakan perempuan
buruh migran semakin rentan dan terbatas mobilitasnya, baik dalam mengakses
kebutuhan sehari-hari maupun pendampingan dan bantuan hukum ketika mengalami
kasus. Selain itu, kasus penahanan melebihi batas waktu di Pusat Tahanan
Sementara Tawau (PTS), Sabah yang biasa disebut Rumah Merah dan dikenal
dikalangan buruh sebagai tempat penyiksaan sebanyak 10%.
Angka yang tinggi ini berkaitan erat dengan penundaan
deportasi akibat ketidaksiapan pemerintah untuk memfasilitasi kepulangan PMI dalam situasi pandemi Covid-19.
Penanganan
Covid-19, baik di Sabah, Malaysia, maupun di Indonesia, telah mengabaikan keselamatan
dan HAM dari PMI beserta keluarganya. Buruh migran yang tidak memiliki dokumen mengalami
penahanan berkepanjangan di PTS atau Depo Imigrasi, di Sabah, Malaysia karena
prosedur deportasi yang rumit. Pemulangan segera juga terhambat oleh keputusan pemerintah
Indonesia, khususnya oleh permintaan Gubernur Kalimantan Utara kepada otoritas
di Sabah, untuk menunda deportasi dengan alasan ketiadaan dana untuk menerima
deportan, maupun dalih prosedur penanganan Covid-19 di wilayah perbatasan
Nunukan. Para deportan akhirnya mengalami penyiksaan di dalam PTS, yang sudah
menjadi masalah sejak lama. [1]
Alih-alih
pemerintah bahu membahu untuk memperbaiki layanan
tata kelola migrasi khususnya pada saat
pandemi Covid-19 dengan segera mengesahkan seluruh
aturan turunan UU PPMI dan memastikan adanya afirmatif layanan bagi PMI
terutama PMI yang bekerja disektor rentan di seluruh tahapan migrasi,
pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang mana dampak UU Cipta Kerja
bagi PMI akan semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan bagi para PMI. Pengesahan UU Cipta Kerja pun
menjadi langkah mundur setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 dan
mengesahkan UU PPMI yang sarat akan perlindungan.
Savitri Wisnuwardhani,
SekNas JBM melihat jumlah kasus yang
justru meningkat terutama di masa pandemi covid 19. Sedangkan dari segi
kebijakan, adanya pola yang sama dan tidak tuntas
dalam pembuatan kebijakan perlindungan PMI. Yang mana hingga sekarang, seluruh
aturan turunan UU PPMI belum disahkan. Hal ini sangat berdampak
pada implementasi perlindungan bagi PMI. Belajar dari pengalaman yang lalu,
pada masa UU No. 39
Tahun 2004, hingga UU tersebut digantikan oleh UU yang baru,
masih ada beberapa aturan turunan yang belum diterbitkan. Kalaupun diterbitkan,
ada aturan turunan turunan dalam bentuk PP yang diterbitkan lebih dari lima
tahun pasca UU 39/2004 diterbitkan.
Bobi
Anwar, Sekjen SBMI mencatat bahwa terdapat kegawatan. Dari 643 kasus yang ditangani oleh SBMI pada tahun 2020, penempatannya lebih
banyak dilakukan secara non prosedural
dengan presentase mencapai 75,74%, sedangkan yang prosedural hanya 24,26%.
Kebanyakan kasus dialami oleh perempuan dengan persentase mencapai 53,65%,
sedangkan laki-laki sebanyak 46,35%.
Penempatan
unprosedural tersebut, kebanyakan dilakukan oleh orang perseorangan sebanyak
59,14% dan sisanya sebanyak 40,86% dilakukan oleh P3MI dan Perusahaan
Penempatan Pelaut Awak Kapal.
Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta
menggarisbawahi bahwa Pada masa pandemi Covid-19 seperti ini,
yang mana seharusnya dapat menjadi kesempatan bagi Pemerintah dalam
menyempurnakan dan mengevaluasi tata
kelola penempatan PMI justru tidak dimanfaatkan secara maksimal, hal tersebut
dapat dilihat secara jelas dengan adanya aturan-aturan yang hanya bersifat
responsif namun tidak siginifikan dalam mengatasi masalah PMI yang terdampak
pandemi Covid-19 di luar negeri dan kini dalam kondisi payung hukum yang masih
lemah justru pemerintah sibuk melakukan pembukaan kembali penempatan PMI hanya
karena alasan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Sementara
itu, menurut Dinda N. Yura, Ketua SP, situasi
seperti pandemi menjadikan kebutuhan akan perlindungan bagi PMI justru semakin tinggi, baik dalam bentuk kebijakan maupun langkah-langkah
penanganan yang tepat oleh pemerintah. Sudah lebih dari tiga tahun semenjak UU
PPMI disahkan, perempuan PMI
terus mengalami kekerasan, pelanggaran hak, dan pemiskinan. Sistem migrasi masih
berjalan tanpa perlindungan yang memadai dengan berbagai jebakan trafficking
maupun kerentanan-kerentanan lainnya. Hal ini terjadi tidak hanya karena
ketidakseriusan pemerintah dalam membuat aturan turunan, tetapi menunjukkan
tidak berubahnya perspektif negara dalam mengkomodifikasi buruh migran.
Hingga
saat ini, negara masih memberlakukan diskriminasi perempuan pekerja rumah tangga
migran melalui Kepmenaker No. 260
Tahun 2015 yang melarang penempatan mereka di negara-negara
Timur Tengah. Situasi buruh migran juga diperparah dengan penanganan pandemi
yang tidak berorientasi HAM
dan arah kebijakan negara yang lebih mementingkan Omnibus Law untuk kepentingan
investasi, daripada kebijakan yang dibutuhkan PMI dan keluarganya, seperti aturan turunan UU PPMI, dan RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga.
Lebih
lanjut, Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI menuturkan
bahwa pada 10 Desember 2018 Kemnaker RI mengeluarkan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial PMI yang mana, PMI
baru dapat mengakses dua jaminan yakni Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan kondisi PMI di negara tujuan banyak yang tidak mendapatkan asuransi
kesehatan dan PMI akan dikenakan 2 kali lipat biaya pengobatan jika rawat inap
dan harus dibayar di depan, sehingga banyak PMI yang tidak mampu berobat di
rumah sakit.
Selain
itu, terdapat masalah dengan persyaratan klaim juga sangat sulit bagi PMI,
mereka hanya diberi waktu 7 hari kerja dan harus disertakan nota dari Perwakilan Negara RI, sedangkan
jarak Perwakilan dengan keberadaan PMI belum tentu bisa di jangkau dalam waktu satu
hari, belum lagi perwakilan sangat sulit memberikan nota yang dimaksud.
Dalam rangka memperingati Hari
Buruh Migran Internasional yang jatuh pada tanggal 18 Desember
2020, JBM yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh
dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran mendesak
Pemerintah agar :
- Segera
menerbitkan seluruh aturan turunan UU PPMI dan berkonsultasi dengan para pihak yang berkepentingan di antaranya PMI, organisasi PMI dan organisasi yang peduli terhadap isu PMI, serta mengimplementasikan jaringan pengaman perlindungan PMI pada masa pandemi Covid-19.
- Merevitalisasi
seluruh layanan migrasi kerja di seluruh tahapan
kerja PMI baik pra keberangkatan,
selama dan pasca pemulangan dengan menggunakan pendekatan HAM dan responsif
gender.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja segera
dicabut dan fokus pada penanganan krisis yang terjadi di berbagai sektor.
- Segera menyusun rencana dan agenda kerja penyusunan peraturan pelaksana yang jelas, terarah, dan terukur termasuk membuat sistem pengawasan perlindungan yang efektif dari tingkat desa hingga pusat.
- Segera ratifikasi Konvensi ILO No. 188
tentang perlindungan ABK dan Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja
Rumah Tangga.
- Segera bahas dan sahkan Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga.
- Hapus kebijakan diskriminatif terhadap
Pekerja Migran Indonesia.
- Segera terjemahkan, sosialisasikan, dan
implementasikan The Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration.
- Implementasikan rencana kerja regional ASEAN
Consensus, ASEAN Convention on Trafficking in Person, dan Convention
of Migrant Workers 1990.
- Implementasikan konvensi migran dan UU
PPMI dengan merombak paradigma komodifikasi menjadi orientasi Hak Asasi Manusia
dan Hak Asasi Perempuan
- Implementasikan Rekomendasi Umum CEDAW
No. 26 dengan mengevaluasi dan mencabut Kepmenaker 260/2015 yang
mendiskriminasi Perempuan Buruh Migran
Jakarta, 17 Desember 2020
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU
Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau
Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok,
LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta,
TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right
Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani (082124714978)
Bobi Anwar (085283006797)
Ayu Eza Tiara (082111340222)
Dinda N. Yura (081818722510)
Yatini Sulistyowati (085312303209)
[1] Lihat Laporan Tim Pencari Fakta, Kondisi Migran Indonesia
yang Dideportasi Selama Masa Covid-19 dari Sabah, Malaysia ke Indonesia
(Desember 2019-September 2020) Koalisi Buruh Migran Berdaulat 7 Oktober 2020 http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2020/10/Laporan-TPF-Buruh-Migran.pdf

Memahami Konsep ICOR dalam Isu Ketenagakerjaan dengan menggunakan Perspektif HAM dan Gender dalam Penelitian untuk Meningkatkan Tata Kelola Praktik Penempatan dan Layanan bagi PMI
Sekretariat Jaringan Buruh Migran (JBM) menggelar FGD daring bagi tim penelitian yang tergabung dalam penelitian mengenai
pelindungan PMI melalui layanan LTSA yang berperspektif HAM dan gender yang akan dilakukan di tiga kabupaten (Lombok Timur - NTB, Karawang –
Jawa Barat, Banyuwangi – Jawa Timur) yang merupakan kantong PMI sekaligus
kabupaten yang pemerintahnya memiliki Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). FGD ini
merupakan rangkaian beberapa FGD yang sebelumnya sudah dilakukan JBM seperti
FGD dengan melibatkan para pekerja migran Indonesia yang ada di dalam dan di
luar negeri untuk berbagi situasi, kerentanan dan harapan dalam perbaikan tata
kelola migrasi PMI.
Dalam FGD membahas mengenai konsep ICOR dalam isu ketenagakerjaan dengan
menggunakan perspektif HAM dan responsif
gender, juga mengundang dua narasumber yang masing-masing
bercerita mengenai konsep ICOR dalam ketenagakerjaan dan perspektif gender
dalam penelitian, yaitu Johnny Darma, mantan Kabid Binapenta Disnakertrans
Prov. Jawa Barat dan Ani Soetjipto, dosen Ilmu HI Universitas Indonesia dan
Board Yayasan Tifa.
Selama ini, migrasi kerja masih
sering dianggap sebagai beban oleh pemerintah daerah, padahal sesuai UU No. 18
Tahun 2017, pemerintah daerah mengemban wewenang yang cukup besar dalam
penempatan dan pelindungan PMI. Migrasi kerja belum diintegrasikan dengan
konsep pembangunan, sehingga migrasi kerja belum dimaknai sebagai hal yang
dapat mendongkrak perekonomian daerah. Prasetyohadi dari The Institute for Ecosoc Rights, dalam
pengantarnya mengatakan bahwa organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk
JBM hingga kini lebih banyak berbicara hal yang normatif. Latar belakang inilah
yang kemudian mendorong JBM untuk membahas hal yang lebi teknis, mengenai
konsep ICOR yang pernah dijajaki dalam isu ketenagakerjaan untuk mengetahui
apakah terdapat terobosan baru yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
advokasi peningkatan tata kelola praktik penempatan dan layanan bagi PMI.
Sebagai narasumber pertama, Johnny
Darma secara garis besar menyampaikan bahwa dalam konteks makro, isu
ketenagakerjaan menjadi bagian dari sektor jasa (sektor 9) dalam perhitungan
ICOR. ICOR itu sendiri adalah Incremental Capital Output Ratio yang
menghitung keluaran (output) dari suatu investasi yang ditanamkan.
Misalnya dalam isu migrasi ketenagakerjaan, dalam setiap investasi yang
ditanamkan oleh pemerintah untuk pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK), ICOR
menghitung seberapa besar dampak hingga berapa PMI yang dihasilkan dari
investasi tersebut.
Hanya saja, Johnny Darma menekankan
bahwa perhitungan ICOR ini tidak berdampak secara langsung terhadap PMI itu
sendiri, melainkan ICOR hanya bisa menjadi dasar untuk menilai seberapa besar
perhatian pemerintah bagi PMI. Sehingga, organisasi masyarkat sipil bisa
menanyakan ke pemerintah tentang berapa besar investasi yang ditanamkan dalam
sektor migrasi ketenagakerjaan dan berapa besar keluaran yang dihasilkan.
Optimal atau tidaknya investasi tersebut juga bisa dinilai karena perhitungan
ICOR.
Selain itu, Johnny Darma juga
menyinggung terkait persoalan yang lebih mikro, yaitu mengenai UU No. 18 Tahun
2017 (UU PPMI). Ia menyebutkan bahwa memang UU PPMI adalah perubahan yang besar
dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 39 Tahun 2004. Hanya saja memang hingga kini
LTSA masih banyak terkendala, utamanya di bidang anggaran hingga persoalan
ajang pungli yang masih dapat ditemukan dalam usaha pemerintah daerah
memberikan pelindungan terhadap PMI.
Selanjutnya, Ani Soetjipto sebagai
narasumber kedua memaparkan mengenai konsep gender dan pentingnya perspektif
gender dalam penelitian. Gender itu sendiri tidak bisa dipahami sebagai aspek
biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, melainkan gender
berbicara banyak mengenai relasi hingga atribut multi-identitas yang erat dalam
diri setiap manusia, termasuk identitas kelas, pendidikan, agama, etnik, dll.
Perspektif gender penting dijadikan
sebagai pintu masuk dalam penelitian. Dalam konteks penelitian mengenai layanan
terpadu satu atap (LTSA), peneliti harus kritis terkait realitas dikotomi
sosial laki-laki dan perempuan seperti dikotomi publik dan privat, skilled/semi-skilled
dan underskilled, hingga kerja berat dan kerja ringan. Karena yang
selama ini diributkan adalah fakta bahwa migrasi kerja sangat berwajah
perempuan, maka terkait permasalahan ekslusi perempuan, perspektif gender
berusaha menginklusikan kelompok yang terekslusi tersebut.
Mengenai
relasi, kita juga berbicara mengenai stereotipe yang melekat terhadap laki-laki
dan perempuan, meskipun belum tentu benar. Sehingga, peneliti juga harus kritis
dalam memandang bahwa dampak dari suatu kebijakan dapat berbeda bagi setiap
gender. Di sinilah kemudian pentingnya perspektif gender dalam penelitian yang
diharapkan dapat menghasilkan hasil temuan dan rumusan rekomendasi yang mampu
menjadi bahan advokasi yang responsif gender.
Setelah
pemaparan materi oleh kedua narasumber, kegiatan langsung dilanjutkan dengan
diskusi. Diskusi banyak membicarakan mengenai apakah sebenarnya ICOR ini bisa
didorong sebagai terobosan baru untuk perbaikan tata kelola migrasi di tingkat
daerah? Hanya saja, sebagaimana yang Johnny Darma telah tekankan, sektor jasa
dalam ICOR belum banyak diperhitungkan, dan kalaupun ada, ICOR tidak berdampak
langsung terhadap PMI, melainkan ICOR hanya bisa menjadi dasar pertimbangan
untuk mempertanyakan perhatian pemerintah terhadap sektor migrasi
ketenagakerjaan.
Sebelum menutup sesi diskusi, Prasetyohadi memberikan catatan bahwa berdasarkan
pemaparan Johnny Darma bahwa LTSA sebenarnya bukan crisis center yang
selama ini kita ekspektasikan, karena ternyata LTSA masih hanya berfungsi di
aspek penempatan, itupun belum optimal, padahal besar harapan masyarakat dan
PMI bahwa LTSA bisa menjadi tempat bagi kemudahan segala hal, termasuk aspek
pelindungan PMI.
Sebagai penutup FGD, Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM, menyampaikan beberapa kesimpulan dan catatan diskusi diantaranya mengenai penggunaan ICOR untuk terobosan perbaikan tata kelola di tingkat daerah ke depannya sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan untuk mendesak daerah memberikan perhatian kepada PMI dengan melihat kontribusi daerah dari segi anggaran dalam memberikan perlindungan kepada PMI. Selain itu Savitri juga menyampaikan beberapa pengamatan awal mengenai layanan LTSA yang telah diterapkan di tingkat daerah dengan menyoroti pada tiga isu krusial yakni mengenai kebijakan, kelembagaan, dan layanan. Dalam hal kebijakan, hal yang di tekankan lebih kepada pentingnya payung hukum yang lebih spesifik mengenai LTSA agar layanan yang ada dapat lebih ditingkatkan. Untuk kelembagaan sendiri, peran pemerintah daerah dalam memastikan LTSA dapat berjalan secara maksimal baik itu mulai dari infrastruktur hingga informasi mengenai pentingnya LTSA untuk perlindungan PMI masih terbatas. Terakhir, dilihat dari layanan, akses PMI dalam menjangkau layanan di LTSA masih belum mandiri. Peran calo/sponsor yang mengarahkan PMI di LTSA masih cukup banyak.
Penulis : Sayyid Muhammad Jundullah (Jundi)